Jumat, 18 November 2011

SBY Makin Kebablasan


Ada rasa bangga sebagai warga Indonesia ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden RI di 2004. Terutama setiap kali SBY menjadi Ketua Delegasi RI di berbagai pertemuan internasional seperti di Sidang Umum PBB, KTT APEC, G-20 dan ASEAN.


Postur tubuhnya yang tinggi dan tidak kalah dibanding orang Barat sekalipun, seakan menjelaskan kepada pemimpin dunia, bahwa generasi baru Indonesia, semuanya sehat fisik seperti SBY. Postur seperti itu menandakan rakyat Indonesia berstatus sebagai sebuah negara makmur.


Ditambah wajahnya yang simpatik plus gayanya berbahasa Inggris yang cukup lancar, membuat kita sebagai rakyatnya merasa bangga berhadapan dengan bangsa lain. Kita dipimpin oleh seorang Presiden yang berkarakter dan berciri khas.


Sebelum SBY, pemimpin Asia yang berciri khas dengan postur tinggi besar adalah Goh Chok Tong (Singapura). Goh selalu tampil mengesankan di mata para peserta KTT. Sebab Goh datang dari sebuah negara kecil tetapi postur tubuhnya yang besar telah mengesankan negara yang dia pimpin merupakan negara kecil yang makmur. Kini Goh sudah lengser.


Semenjak SBY jadi Presiden RI, saat bersalaman dengan George Bush dari Amerika Serikat, ketika itu masih menjadi presiden, yang terlihat mewakili negara kecil, justru Bush. Postur tubuh seorang pemimpin bukanlah segala-galanya. Namun dalam hal postur SBY, bangsa Indonesia punya keistimewaan. Ke depan, mungkin sudah sulit bagi Indonesia menemukan lagi Presiden berpostur orang makmur.


Sehingga walaupun kehidupan Indonesia sebagai sebuah negara masih terus terpuruk dan rakyat miskin masih berada di mana-mana, tetapi kekurangan Indonesia itu terkompensasi oleh sosok pemimpin yang berpostur makmur.


Saat ini SBY merupakan satu-satunya pemimpin Asia yang postur tubuhnya berukuran XXL. Selain itu raut wajahnya memberi gambaran jelas bahwa Presiden ke-6 Indonesia ini, tidak punya perasaan rendah diri. Dan sudah seharusnya setiap orang Indonesia harus punya perasaan seperti itu.


Tetapi setelah 7 tahun SBY tampil sebagai pemimpin, penampilannya tiba-tiba berubah. Di KTT APEC Honolulu, Hawaii, AS baru-baru ini, ia tampil kebablasan. Hal itu menimbulkan pertanyaan sekaligus menciptakan persepsi bahwa menjelang masa jabatannya berakhir,


SBY sudah mulai tampil semaunya. Urusan pribadi dijadikan urusan negara. Kepentingan pribadi lebih ditonjolkan. Sehingga wajar jika ada perasaan kecewa bercampur marah kepada Presiden SBY.


Rasa kecewa bercampur marah itu muncul karena di KTT APEC Presiden SBY secara mendadak memperdengarkan lagu ciptaannya 'Save The Earth'. Dari laporan wartawan-wartawan Indonesia yang ikut dalam rombongan Presiden, disebutkan lagu karya SBY mendapat sambutan dan pujian dari para peserta KTT APEC.


Bahkan untuk pertama kalinya ketika Presiden menjawab pertanyaan ia mengatakan, mencipta lagu merupakan salah satu hobinya. Pernyataan itu cukup mengejutkan. Sebab selama ini jika berada di Tanah Air, Presiden tidak pernah memberi alasan, mengapa tiba-tiba menjadi pribadi yang getol menciptakan lagu. Atau mengapa SBY lebih senang dipuji sebagai penyanyi dari pada sebagai Presiden?


Kita rakyat Indonesia perlu kecewa dan marah karena ketidak patutan yang dilakukan presidennya, membuat seluruh rakyat di-stygma-kan seperti SBY.


Presentase SBY tentang lagu ciptaannya di KTT APEC boleh jadi sudah disetujui oleh protokol tuan rumah. Tetapi hal itu tidak membuat tingkat kepatutan terpenuhi. SBY perlu sadar bahwa KTT APEC tidak sama dengan kontes lomba pencipta lagu. KTT APEC bukan Indonesian Idol ataupun American Idol.


Walaupun SBY diberi aplaus oleh peserta, tapi jelas bukan standing ovation. Sehingga tidak patut jika SBY dan bangsa Indonesia bangga dengan aplaus tersebut.


Presiden tidak sadar, ia telah melecehkan sebuah forum terhormat. Sepanjang KTT di dunia, belum ada pemimpin yang tampil seperti SBY. Di KTT biasanya yang dilakukan para Ketua Delegasi justru menonjolkan kecemerlangan gagasan bukan popularitas sesaat.


Sungguh sangat tidak patut, pada saat semua pemimpin APEC sedang berpikir keras bagaimana memajukan kerja sama ekonomi menghadapi krisis keuangan Amerika Serikat dan Eropa, seorang Presiden dari negara berkembang justru menawarkan jedah untuk mendengarkan sebuah lagu.


Walaupun esensi dan pesan dalam lagu ciptaannya itu mungkin bisa menyemangati para pemimpin APEC, tetapi ketidak-patutan atas penampilan SBY seperti itu, semakin kuat.


Kesan bahwa SBY lebih mementingkan pencitraan atas dirinya kembali muncul. Apalagi dua hari sebelumnya, lagu ciptaan SBY juga diperdengarkan atau dipromosikan dalam acara pembukaan SEA Games.


Penampilan SBY di APEC seperti itu di luar kepatutan sebab kalau mau memyelamatkan dunia, semestinya ia meniru cara Albert Gore, bekas Wakil Presiden AS yang selama 8 tahun menjadi tandemnya Bill Clinton di Gedung Putih.


Selepas dari Gedung Putih, Gore memutuskan untuk menjadi pekerja sosial. Gore mengajak pemimpin dunia lebih peduli pada pelestarian lingkungan. Gore mengawali kegiatan dengan presentase ilmiah di berbagai kampus. Sampai akhirnya Gore memperoleh dukungan dunia internasional.


Terakhir Yayasan Nobel menganugerahinya gelar Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian. Gore tidak memanfaatkan fasilitas negara. Gore tidak menyewa orang untuk membuat konsepnya.


Mengarang lagu merupakan hak azasi Presiden SBY. Tetapi jangan sampai dengan lagu itu muncul kesan Presiden memang lebih mengutamakan kesenangan dirinya. Bisa juga memancing kesan bahwa Presiden SBY tidak peduli dengan rakyat yang diurusnya yang sebagian besar masih merasakan hidup susah.


Ketidakpatutan yang dilakukan SBY di KTT APEC semakin bertambah sebab sebelum ke Honolulu, persoalan bangsa yang tidak terurus relatif terlalu banyak. Seperti kasus Papua, korupsi dan konflik-konflik horizontal.


Dimana relevansinya Presiden SBY mengajak para pemimpin APEC untuk menyelamatkan bangsa, sementara bangsanya sendiri, NKRI sedang menghadapi acaman disintegrasi? [inilah.com]

0 komentar:

Posting Komentar